Thursday, July 21, 2011

Cubalah mencintai tanpa syarat

Cubalah mencintai tanpa syarat



Cinta mungkin sebuah kata agung yang paling sering membuat seseorang tergugup di hadapannya. Segala teori dan definisi yang dilontarkan, lidah akan terkelu begitu saja bila kita sendiri yang mengalami bagaimana hebatnya cinta mempengaruhi diri kita. Mungkin sukar difahami bagi orang yang sedang tak bercinta, bagaimana rasa cinta itu menjelma menjadi ratusan ribu panggilan telefon, berlimpahnya waktu untuk menunggu kekasih walau kita sedang dalam kesuntukkan waktu, terbuka lebarnya mata mengerjakan tugas-tugas demi membantu yang tersayang. Bongkah pengorbanan yang tak rela untuk dipecahkan…

Merasakan cinta seperti merasakan hangatnya matahari. Kita selalu merasa kehangatan itu akan terus menyinari diri. Setiap pagi menanti mentari, tak pernah terfikirkan akan turun hujan atau badai kerana kita percaya semua itu pasti akan berlalu dan mentari akan kembali, menghangati hujung kaki dan tangan yang sedikit membeku. Mentari ada di sana, dan dia pasti setia.

Kita lupa, matahari yang hidup dan mengisi hidup itu adalah hamba kepada Pencipta kehidupan, kehidupan kita, kehidupan matahari. Satu waktu matahari harus pergi, walau tak pernah meminta, walau pinta tak pernah kita ucapkan. Jadi, tetap akan pergi, apapun yang terjadi. Kerana ini adalah kehendak-Nya. Segala yang ada di dunia ini tidak pernah abadi, kerana semua akan pergi. Selamanya, bukan sementara. Inilah dunia. Senang atau tidak, kita hanya mampu terima. Mungkin kita ingin untuk protes, ingin menjerit; betapa tak adilnya! Tapi kita cuma akan dijawab oleh tebing karang yang bisu, atau lolongan anjing dari kejauhan yang terdengar mengejek. Mungkin kita kecewa dan ingin mengakhiri hidup. Mungkin kita ingin memukul, tapi cuma angin yang mampu kena. Sekarang cuba lihat, apakah itu mengubah apa pun? Tak ada yang berubah kecuali semakin dalamnya rasa sakit itu.

Ketika kuasa-Nya yang mutlak memberi cinta sementara kita pada matahari, kita mampu berbuat apa? Kerana kita cuma hamba, kita cuma budak! Kita hanya mampu menelan kepahitan yang kita ciptakan sendiri.

Mungkin yang perlu kita jawab; mengapa kita melabuhkan cinta begitu besarnya pada manusia? Padahal kita tahu tak ada yang abadi di dunia ini. Mengapa?

Allah menciptakan cinta di antara manusia. Dia yang paling hebat, paling tahu bagaimana cinta itu, bagaimana mencintai, bagaimana dicintai. Kenapa kita suka mempamerkan, merasa paling mencintai, merasa paling dicintai, merasa memiliki segalanya dengan cinta. Padahal cinta itu cuma dari manusia, untuk manusia. Dan suatu hari cinta itu akan hilang. Tak pupus, tapi tak berbekas, tak berjejak. Cinta yang begitukah yang kita inginkan?

Kenapa kita tak mencuba raih matahari cintanya Allah, yang tak pernah tenggelam dan tak pernah sirna. Tak pernah usang, tak hancur, dan tak akan pernah sia-sia. Mencintai Allah? Terlalu abstrak, terlalu aneh. Masa’? Itu kerana kita tak pernah merasa dekat, tak pernah berusaha mendekati-Nya. Allah menjadi asing kerana kita memposisikan Allah sebagai sesuatu yang berada di langit yang tinggi dan tak mungkinlah kita mencapainya. Jangankan mencintai, membayangkan untuk mendekatinya saja tak mungkin.

Tahukah anda, Dia menawarkan cinta-Nya untuk kita. Hebat kan? Kita? Manusia yang hina dina yang berasal dari setitis sperma yang hina? Ditawarkan cinta dari pencipta cinta? Err.. err… betul ke? Kemudian kita menolak dan menjauhi cinta-Nya? Wah… wah… betapa bodohnya ...

Kalau cinta seperti itu tertolak, cinta apa lagi yang kita harapkan? Cinta yang membawa pada kekecewaan, rasa sakit, atau derita? Cinta yang hanya mekar semusim lalu luruh tak berbekas, bahkan wanginya. Percayalah… cinta yang ditawarkan-Nya tak pernah menguncup, mekar, atau luruh. cinta-Nya abadi, mekar selamanya. Dan Dia akan memberi kita cinta dari manusia. Mentari itu terus di sana, bila dan di manapun kita ingin merasakan hangatnya. Kita memiliki cinta dari Allah.



Apakah kita tak berniat membalas ketulusan cinta itu? :-

No comments:

Post a Comment